Tahadus binnimat Al - Husein
Sujud dan segala puji saya haturkan untuk keagungan dan
anugerah serta pemberian-Nya yang tiada kata mampu menjelaskan. Shalawat dan
salam mudah-mudahan tetap terucap melalui bibir saya untuk Kanjeng Nabi
Muhammad kekasih-Nya.
Meskipun hati diselimuti oleh kegelisahan serta ketakutan
untuk menceritakan pengalaman mistis-spiritual yang saya alami, saya tetap akan
berbagi kepada para pembaca. Bukan untuk kesombongan diri tetapi hanya ingin
berbagi pengalaman yang penuh dengan derita, penuh dengan cobaan dan ujian
tetapi berujung kebahagiaan serta ketentraman batin.
Benarlah apa kata pepatah, berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Jika seseorang menginginkan kebahagiaan dan kenikmatan haruslah melalui
berbagai macam rintangan dan ujian.
Untuk mendapatkan kebahagiaan itu tidak semudah
mengucapkannya. Hambatan dan rintangan akan senantiasa merintangi para pencari
kebahagiaan. Seperti kisah biksu Tom Sam Cong dalam kisah Monkey King, untuk
mencapai pengalaman Budha beliau harus melewati 30 rintangan dan 99 bencana.
Jadi semua saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca,
dipercaya monggo, tidak dipercaya juga tidak menjadi soal. Karena saya sekali
lagi hanya ingin berbagi kisah, bukan ingin membusungkan dada, memupuk
kesombongan diri.
Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi
pembaca untuk meningkatkan spiritual hidup agar dapat mencapai pengalaman cinta
Ilahi Amin.
Muhammad
Dawami Al-Husein
Pepohonan di atas bukit tidak selebat dahulu lagi. Terik matahari tidak seramah dulu, saat keceriaanburung yang bernyanyi setiap haridari dahan pohon yang satu ke dahan lain. Tetapi ritunitas desa bernama Soko Sari yang terletak di lereng bukit gamping daerah Blitar selatan tetap berjalan seperti biasa. Kesunyian desa masih menyisakan gambaran sejuk di masa silam
Seorang wanita separo baya dengan perut buncit sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Saat itu semesta tidak menunjukkan gejala yang aneh. Bunga-bunga tetap tumbuh dan mekar seperti biasa, sementara sisa-sisa cericit beberapa burung masih tampak menghiasi suasana pagi. Bebatuan penghias jalan masih tetap membisu. Dan matahari masih memberikan kehangatan yang sama.
Sementara sang suami sedang menggerakkan seluruh organ tubuhnya guna mencukupi kebutuhan keluarga. Ia langkahkan kaki menuju ladang warisan dari mertua. Ia ayunkan cangkul kuat-kuat ke tanah di bawahnya. Setelah matahari meninggalkan bumi ayunan demi ayunan mulai melemahdan iapun berhenti saat matahari di puncak langit. Ia mengambil dedaunan serta ubi untuk dibawa pulang sebagai makanan keluarga.
Sesampai dirumah istri menyambutnya dengan riang dengan membawakan secangkir kopi. Rutinitas itu berjalan seperti biasa. Tidak terjadi sesuatu yang aneh.
Saat malam tiba kesunyian desa sangat terasa. Hanya sorot lampu-lampu teplokmyang menembus dinding bambu dari setiap rumah menerangi remang-remang ruang di sekitarnya.suara jengkerik yang mendayu-dayu menambah khas suasana malam desa.bahkan suara burung hantu selalu menghias malam membuat bulu kuduk semakin berdiri bagi para penakut.
Kesunyian malam berubah ketika rumah paro baya itu sedikit gaduh karena suara erangan kesakitan dan kepanikan sang suami yang berlari-lari menuju rumah dukun bayi desa.ia percepat larinya. Sementara si sulung ikut membantu menyalakan lampu-lampu teplok agar suasana kelihatan lebih terang.
Beberapa saat setelah mbah dukun tiba kesunyian desa itu terbelah oleh jeritan seorang bayi laki-laki yang sudah lama ingin keluar dari tempat pertapaan rahim ibunya. Kebahagiaan, kebingungan bercampur menjadi satudalam hati keluarga itu.
Saat itulah 32 tahun lalu saya dIlahirkan dengan ketidakberdayaan seorang bayi. Tidak beda dengan bay lainnya, sangat mengenaskan. Sebagai seorang bayi pada umumnya, tidak ada kemampuan untuk mengekspresikan keinginan-keinginan saya. Hal ini berlanjut sampai organ telinga sudah mampu untuk mendengarkan suara-suara dan kata-kata. Tetapi perkembangan kemampuan beberapa organ itu tidak membuat ayah dan ibu atau para tetangga mampu menterjemahkansemua keinginan saya.
Mungin karena gizi dan vitamin saat itu sulit didapat sehingga saya mungkin tidak mendapatkannya secara maksimal, maka pertumbuhan organ-organ dan kemampuan tubuh sangat lambat. Bahkan penyakit sangat senang sekali mengunjungi tubuh yang menyangga sukma ini. Karena itulah mungkin kemampuan saya untuk berbicara dan berjalan agak lambat. Bahkan sampai umur tahun saya masih sulit berbicara sehingga teman-teman sebaya dan tetangga menjuluki saya si Pelo.
Kembali ke masa bayi. Setelah usia menginjak lima hari atau kalau orang Jawa bilang sepasar, ritual dan tradisi Jawa diterapkan untuk saya. Dengan beberapa sajen dan uborampenya disediakan sebagai sarana sedekah kedua orang tua saya. Saat itulah biasanya nama seorang bayi akan diikrarkan. Dan kebetulan ayah say meskipun keturunan darinegeri orang-orang berjubah tetapi beliau dIlahirkan di daerah yang sangat memegang kuat tradisi kejawen dan juga beristrikan orang Jawa maka beliau melakukan ritual-ritual kejawen yang berbau Arab dan memberi nama dalam bahasa Arab pula. Nama yang diberikan oleh beliau adalah mohammad Dawami.
Meskipun kami orang desa tetapi ayah sangat memperhatikan pendidikan. Ia meminta anak-anaknya untuk meraih pendidikan setinggi mungkin. Untuk mewujudkan cicta-cita itu ayah bekerja mati-matian untuk mencari biaya. Karena itulah kakak saya dititipkan untuk menyerap ilmu kepada kiyai di daerah Banyuwangi tetapi ternyata Allah berkehendak lain, kakak saya wafat sebelum menyelesaiakn dan mempraktekkan ilmunya.
Ayah mempunyai cita-cita dalam mendidik anak-anaknya. Beliau ingin kakak saya menjadi seorang yang ahli dalam bidang agama oleh karena itu beliau menyuruh kakak untuk nyantri, dan menginginkan saya untuk mengusai dunia dengan ilmu pengeahuannya. Karena itulah beliau tidak menyuruh saya nyantri, tetapi malah menyuruh saya masuk sekolah-sekolah umum. Meski demikian pelajaran agama tidak saya abaikan.
Saya baru mulai belajar huruf hijaiyah kepada seorang guru saat berusia tujuh belas tahun, meskipun ketika kecil memang pernah dikenalkan oleh ayah pada huruf-huruf arab tersebut. Tetapi tradisi keluarga saya menganjurkan untuk berguru kepada seseorang sebagai proses pentashihan.
Setelah mendapatkan rekomendasi dari seorang kiyai agar saya mempelajari Al-Qur’an lebih dalam dan ilmu-ilmu agama yang masih banyak menggunKn bahasa arab, maka ayah menyuruh saya untuk ngaji di pondok pesantren di Blitar bagian barat.
Karena kakak saya dipanggil Allah lebih dahulu, maka dengan kekomendasi kiyai tersebut ayah menumpukan beban impiannya agar kelak ada anakny mahir dalam bidang agama dan umumkepada saya. Selama dua tahun saya belajar di pesantren tersebut. Banyak pelajaran dasar tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmu pendukung saya peroleh, meskipun harus bersusah payah setiap hari. Hal 15
Berbekal dasar-dasar pelajaran yang saya peroleh selama dua tahun tersebut akhirnya saya direkomendasikan untuk mempelajari Al-Qur’an kepada mbah Kyai Arwani Qudus seorang hafid (penghafal Al-Qur’an) yang mengajari saya Al-Qur’an dengan penuh kesabaran dan kesahajaan.
Keinginan untuk mendapatkan pelajaran sebanyak-banyaknya dari beliau ternyata tidak sesuai dengan keinginan yang menggebu-nggebu dalam hati saya. Karena beliau sering menyuruh saya unrtuk membantu dan melayani beliau, bahkan saat santri-santri lain asyik belajar beliau malah menyuruh saya untuk menggembala kambing. Meskipun bingung tugas itu tetap saya lakukan dengan senang hatidengan harapan bahwa energi positif dari dalam diri beliau bisa menyebarkepada saya.
Al-hamdulillah sementara para santri mengistirahatkan raga mereka, di tengah malam beliau membangunkan saya dan mengajari membaca surat Al-Fatihah. Hal itu terus kami lakukan setiap hari selama tiga bulan.
Selama tiga bulan tersebut sama sekali saya tidak belajar konsep-konsep dan teori-teori tentang Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, hanya membaca surat Al-Fatihah.
Ternyata sekarang setelah saya mendirikan pesantren kecil baru memahami pelajaran dari beliau. Mungkin beliau memang tidak mengajari saya konsep tetapi langsung mengalami dan menjalani konsep tersebut
Saya harus bisa menggembalakan nafsu-nafsu saya dengan tali dzikrullah. Kemampuan dan kesabaran harus ditanamkan dalam hati agar kambing-kambing nafsutidak lari ke sana kemari.
Sebelum melahap pelajaran-pelajaran yang lebih rumit, saya harus mempelajari dahulu dasar-dasarnya. Al-Fatihah adalah surat pertama dari Al-Qur’an yang sebenarnyasudah merupakan rangkuman kisah dan tata cara yang dilukiskan dalam keseluruhan ayat-ayat yang ada dalamnya
Anehnya lagi, setelah tiga bulan beliau mengajarkan saya membaca surat Al-Fatihah beliau tidak meneruskan pelajaran ini kesurat-surat selanjutnya tetapi malah menyuruh saya belajar lagi membaca surat tersebut kepada mbah Kyai Khobir Mangunsari.
Di Mangunsari, apa yang saya alami di pesantren Qudus hampir sama. Di sana saya juga mengabdi dan melayani serta menjalankan tugas-tugas beliau di saat para santri lain sedang belajar.
Tetapi beliau memilih waktu khusus untuk mengajar saya membaca surat Al-Fatihah. Seperti di Qudus beliau mengajar saya di saat santri-santri lain sedang lelap memeluk mimpi-mimpi indah mereka. Membangunkan dan mengajak saya melakukan ritual malam bersama-sama, kemudian baru mengajar saya untuk belajar membaca surat Al-Fatihah. Di tempat beliau saya belajar selama tiga bulan..
Karena hanya belajar membaca surat Al-Fatihah saja, saya merasa kurang puas, akhirnya saya pergi lagi nyantri di salah satu pesantren yang ada di wilayah Banten. Selama dua minggu di sana saya hanya disuruh bantu-bantu oleh pak Kyai dan setelah itu malah menyuruh saya pulang supaya mempraktekkan ilmu apa yang saya dapatkan selama ini. Saya jadi heran dan bertanya-tanya ilmu mana yang harus saya praktekkan. Karena hanya berbekal dasar-dasar ilmu agama saja saya merasa belum cukup sehingga belum ada keberanian untuk melakukan hal itu.
BERJUMPA ORANG MISTERIUS
Hati berkecamuk pikiran meradang, bingung, takut campur menjadi satu memenuhi relung-relung otak dan hati saya. Selama perjalanan pulang, tiada kata yang mampu keluar melalui kedua celah bibir saya. Tetapi pikiran saya melayang-layang jauh menembus ruang dan waktu tak menentu menbayangkan pesan yang harus saya emban dan jalankan dari para Kyai yang selama ini membingungkan saya.
Hanya karena-Nya saya berani dan berusaha untu mewujudkan tugas berat ini. Setelah saya sujudkan seluruh raga dan sukma ke dalam selimut rahman-rahim-Nya barulah muncul sebuah keberanian dan ketenangan dalam hati untuk melangkah dan melaksanakan amanah.
Tidak lam setelah pulang dari Banten , saya bersama kawan-kawan yang peduli dengan pendidikan agama merintis pendidikan di daerah Malang selatan yang merupakan basis penyebaran ajaran Nasrani.
Awalnya kami mengajar anak-anak untuk membeca ayat-ayat suci yang maha indah dan maha dahsyat itu. Lama-kelamaan orang tua mereka senang dengan kehadiran dan sistem pembelajaran yang kami terapkan, karena selain mengajar anak-anak mereka kami juga mendatangkan kyai-kyai setempat yang mereka hormati akhirnya mereka bersama-sama membuatkan sarana belajar untuk anak-anak mereka yang lebih layak.
Selama lima bulan saya bersama kawan-kawan menjalankan titah sang guru mengajar anak-anak mengaji. Setelah saya rasa perjuangan ini hanya tinggal meneruskan dan meramaikan saja akhirnya saya putuskan untuk pulang dan menyerahkan tugas ini kepadakawan-kawan saya di Malang.
Saya mengajar setelah shalat Isya’ dan biasanya saya pulang, tidak menginap di Malang. Perjalanan malam sudah biasa bagi saya, tidak ada rasa takut sedikitpun pada orang jahat atau makhluk halus. Memang waktu itu masih jarang orang yang menghadang dan merampas kendaraan, tidak seperti sekarang.
Pernah juga terjadi sebuah peristiwa yang membuat saya takut, kejadian itu terjadi di daerah Selopuro tepatnya di persawahan desa Ploso. Jalan di situ memang sepi apalagi harus melewati jurangan sebuah jalan yang turun dan berkelok, seperti jurang yang kata penduduk setempat selalu memakan korban tiap tahunnya. Di sebelah selatan jalan terdapat sisa-sisa bangunan bekas jembatan rel kereta api zaman Belanda yang menambah serem suasana jurang itu.
Waktu itu saya berangkat dari rumah setelah maghrib, karena ditempat saya mengajar akan diadakan temu wali murid. Saat saya melintasi jurangan ada orang yang telanjang dada, memakai celana hitam kombor menghentikan sepeda motor saya, kemudian dia menyalami saya sambil mulutnya komat-kamit memanggil nama guru saya tanpa sopan santun. Ia memanggil guru saya tanpa embel-embel penghormatan sedikitpun. Dalam hati saya bertanya-tanya kalau dia orang gila kok tahu semua nama guru saya? Siapa dia gerangan ?
Setelah menyalami dan menyebut semua nama guru saya, dia menyuruh saya segera pergi meneruskan perjalanan. Sepanjang alan pikiran saya tertuju kepada orang gila aneh yang menemui saya di jurangan tadi. Setelah saya sampai di tempat saya mengajar, orang sudah berkumpul. Salah seorang kawan memanggil dan berbisik ke telinga saya,” Kamu dipanggil abah”. Abah adalah seorang Gus (julukan anak kyai di daerah Jawa Timur) yang kami undang untuk mengisi acara malam itu. “Kamu salaman sama orang gila tadi?” sambut beliau sambil menghisap rokok Godang Garam kesukaannya.
“Inggih”, jawab saya dengan sopan.
“ Kamu tahu siapa dia?” tanyanya menyelidik.
“Tidak”, jawab saya serius.
“ Orang yang kamu
anggap gila itu adalah Nabi Khidir”, jelas Abah. “ Jadi jangan heran jika dia
memanggil semua guru-gurumu tanpa memberi embel-embel penghormatan”.
Saya merasa malu di hadapan si Gus, karena beliau tahu
semua yang ada dalam benak saya.
“ Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang dituntun beliau”,
katanya kemudian.
“ Amin”, saya mengamini. Malam itu malam terakhir saya mengabdikan diri untuk
pendidikan di daerah itu. Setelah acara selasai sekitar jam 23.00 saya tidak
menginap di sana tetapi langsung pulang, kerena besuk sepeda motornya mau dipakai. Saat melintas di
utara, dipersawahan, tempat yang saat ini menjadi terminal utama kota Blitar,
tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri., seluruh tubuh terasa lemas dan sepeda motor
butut saya tak kuasa lagi berbunyi apalagi
berjalan. Di hadapan saya berdiri orang yang berperawakan tinggi besar
memakai jubah putih. Melihat saya diam seribu bahasa, mungkin saat itu saya
sudah mati rasa. Pikiran berhenti, jantung tidak berdenyut. Kosong. Itulah kata
yang tepat untuk menggambarkan kondisi saya saat itu. Takut, cemas, gelisah
bercampuraduk menjadi satu. Orang mesterius itu menghampiri dan menepuk bahu saya
sambil berkata,” Carilah saya ke arah barat”. Saat telapak tangan itu menyentuh bahu rasa hanngat
menjalar ke seluruh tubuh saya dan menghilangkan semua rasa tidak nyaman dalam
diri saya. Setelah berkata orang misterius itu menghilang hanya bau
minyak wangi yang masih tercium oleh hidung saya. Beberapa saat setelah itu
baru saya bisa menggerakkan tubuh saya dan sepeda motor pun tidak mogok
lagi.saya jalankan pelan-pelan sepeda motor butut itu sambil memikirkansiapa
gerangan dan apa maksud penyataan orang aneh yang menemui saya tadi.
Jangan-jangan itu orang gila yang ternyata Nabi Khidir yang menemui saya.
Tetapi sosok tubuh mereka berbeda. Hal 23
Pertemuan saya denganNabi Khidir menimbulkan ketakutan yang biasa yaitu ketakutan terhadap orang gila, sementara orang yang barusan membuat sendi-sendi saya tidak bisa bergerak sama sekali bahkan nafaspun terasa berhenti. Sesampainya di rumah saya tidak bisa tidur, pikiran melayang-layang mencari jawaban peristiwa tadi. Khayalan saya baru berhenti saat telinga saya menangkap sayup-sayup suara adzan subuh. Setelah mensucikan raga dan menunaikan shalat subuh,sayapun mengistirahatkan raga yang sudahkecapean ini dalam ruang sujudku. Entah mimpi entah terjaga, sesaat setelah saya merebahkan tubuh dan memejamkan mata ada suara lembut yang terasa dalam hati saya.. suara itu sangat lembut sekali bahkan telingapun tak mampu menangkapnya. Hanya hati yang bisa merasakan dan memahaminya. Suara lembut itu menyuruh saya untuk segera mencari orang misterius tadi malam. Lonceng jam dinding berbunyi delapan kali dan begitu keras sehingga membuat saya terkejut dan melompat dari atassajadah. Saya duduk termangu menghela nafas pelan-pelan. Meskipun uapan-uapan kecil kantuk sudah tidak lagi memberatkan mata tetapi rasanya kaki terpaku di atas sajadah. Badan tak mau diajak bergerak, hanya khayal saja yang melayang-layang terus menembus kegelapan maya mencari sesuatu yang saya sendiri belum memahaminya. Entah datangnya dari mana suara lembut memberi rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh dan membangkitkan keinginan untuk segera melaksanakan pesan itu semakin kuat. Bukan sekedar ilusi yang saya rasakantetapi sukma saya benar-benar keluar dari raga ini. Dan mungkin sudah mencapai tujuan sehingga kembali membawa pesan mistik itu kepada saya.
Pertemuan saya denganNabi Khidir menimbulkan ketakutan yang biasa yaitu ketakutan terhadap orang gila, sementara orang yang barusan membuat sendi-sendi saya tidak bisa bergerak sama sekali bahkan nafaspun terasa berhenti. Sesampainya di rumah saya tidak bisa tidur, pikiran melayang-layang mencari jawaban peristiwa tadi. Khayalan saya baru berhenti saat telinga saya menangkap sayup-sayup suara adzan subuh. Setelah mensucikan raga dan menunaikan shalat subuh,sayapun mengistirahatkan raga yang sudahkecapean ini dalam ruang sujudku. Entah mimpi entah terjaga, sesaat setelah saya merebahkan tubuh dan memejamkan mata ada suara lembut yang terasa dalam hati saya.. suara itu sangat lembut sekali bahkan telingapun tak mampu menangkapnya. Hanya hati yang bisa merasakan dan memahaminya. Suara lembut itu menyuruh saya untuk segera mencari orang misterius tadi malam. Lonceng jam dinding berbunyi delapan kali dan begitu keras sehingga membuat saya terkejut dan melompat dari atassajadah. Saya duduk termangu menghela nafas pelan-pelan. Meskipun uapan-uapan kecil kantuk sudah tidak lagi memberatkan mata tetapi rasanya kaki terpaku di atas sajadah. Badan tak mau diajak bergerak, hanya khayal saja yang melayang-layang terus menembus kegelapan maya mencari sesuatu yang saya sendiri belum memahaminya. Entah datangnya dari mana suara lembut memberi rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh dan membangkitkan keinginan untuk segera melaksanakan pesan itu semakin kuat. Bukan sekedar ilusi yang saya rasakantetapi sukma saya benar-benar keluar dari raga ini. Dan mungkin sudah mencapai tujuan sehingga kembali membawa pesan mistik itu kepada saya.
Kehangatan yang
menjalar di seluruh tubuh saya membuat kaki dan tangan sya dapat bergerak
menggeliat menikmati relaksasi setelah dibebani rasa capek yang amat sangat.
Dan akhirnya saya langkahkan kaki menyucikan diri dalam air kehidupan. Setelah melakukan shalat dhuha di pagi hari saya tidak
langsung keluar dari tempat semedi, saya pejamkan mata, mengolah nafas sambil
melafalkan doa untuk menuntun hati mencapai damai. Dua jam berlalu tanpa
terasa. Kesadaran sebagai manusia biasa muncul saat sayup-sayup suara adzan
dhuhur menerobos pendengaran saya. Keyakinan dan tekat saya sudah bulat setelah mengalami
hal-hal aneh di luar nalar sejak malam hingga pagi itu. Saat itu juga saya putuskan untuk minta izinpada
ibu agar diperbolehkan melakukan perjalanan spiritual. Awalnya ibu menolak dengan keras tetapi setelah melihat
tekad saya yang sedemikian besar akhirnya dengan berat hati beliau mengizinkan
bahkan memberikan uang saku kepada saya. Saya hanya mempersiapkan beberapa potong baju bersih
untuk persiapan shalat di perjalanan dan saya niat berpuasa agar pikiran dan
hati saya tetap terjaga. Dan berusaha untuk berpuasa yang tidak sekedar menahan
lapar dan dahaga, tetapi mengajak semua organ-organ tubuh untuk menahan diri
dari keinginan-keinginan duniawi dan maksiat kepada Allah.
DIBIMBING ORANG GILA
DIBIMBING ORANG GILA
Setelah matahari
meninggalkan tugasnya untuk menerangi
mayapada, dan kecantikan putri rembulan sudah mulai memancarkan auranya untuk
menghias malam. Bintangpun berdatangan satu persatu menenuhi cakrawala. Dengan sedikit belak dan baju gantu serta segudang tekad
dan niat, saya melangkahkan kaki menuju ke arah barat mencari orang misterius
yang telah menemui saya dan membuat hati ini gundah. Tidak ada gangguan berarti dalam perjalanan, saya terus
melangkahkan kaki menuju arah barat sebagaiman petunjuk yang telah diberikan
orang mesterius itu. Saat pagi menjelang kaki saya sudah menginjak tanah di
wilayah Kediri. Di tanah kediri inilah
gangguan mulai merintangi saya. Uang saku pemberian ibu saya sebasar Rp.
125.000, itu dirampas oleh orang-orang yang tidak saya kenal. Saat itu
kesedihan menggelayut dalam pikiran saya, bagaimana nanti bila lapar dan dahaga
menyerang saya ? haruskah meminta-minta ? Saya berusaha menyadari dan memahami rintangan ini,
mungkin Allah mengingatkan saya agar melepaskan keterikatan duniawi, karena Ia
akan mencukupi hamba-hamba-Nya yang bisa memposisikan pasrah yang benar. Pasrah
memang mudah untuk diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan, bisa saja
bibir mengatakan pasrah tetapi ternyata hati masih ngedumel tidak terima dengan
keadaan. Ketika senja tiba, warna merah menghias cakrawala dan
sengatan matahari sudah kehilangan bisa, mesin-mesin metabolisme dalam perut
mulai berisik, berteriak-teriak minta pekerjaan mengolah makanan, saat itulah
terlintas dalam benak akan keagungan Allah. Saya pasrahkan semuanya kepada-Nya.
Tiba-tiba ada orang dengan pakaian lusuh penuh tambalan dan celana hitam
kedodoran menghampiri saya dan menyodorkan sebungkus nasi tanpa kata-kata.
Alhamdulilllah hanya itu yang terucap oleh bibir saya.
Setelah memberikan nasi bungkus, orang aneh yang menemui saya itu
menghilang,sesaat setelah mata saya tertuju pada bungkusan nasi. Tetapi saya
tidak menghiraukannya dan tak mempedulikan siapa dia, yang penting saat itu
adalah saya bisa berbuka puasa dengan nasi. Setelah berbuka dan melakukan shalat Maghrib, saya
melangkahkan kaki kembali untuk meneruskan perjalanan ke arah barat menemui
orang mesteruis yang telah menggetarkan hati. Tatkala kebingungan menghampiri diri saya, ke mana saya
harus melangkah, tiba-tiba orang gembel yang tadi memberi nasi bungkus kepada
saya muncul di kejauhan, seolah memberi tahu ke arah mana saya harus meneruskan
perjalanan. Ternyata setiap kali saya bingung harus mengambil arah
mana, dengan tiba-tiba si gembel itu muncul, dan sayapun menemukan makam
keramat. Karena perjalanan ini memang lebih ke arah mistis, maka saya harus berusaha untuk mengalami
hal-hal mistis. Dan setiap kali
menjumpai makam, saya mampir untuk berziarah dengan maksud untuk mencari
pengalaman mistis yang bisa meningkatkan nilai spiritual diri saya bukan mistis yang memupuk kemusyrikan. Dan ternyata benar, saya mengalami peristiwa peristiwa
mistis meski hanya dalam mimpi. Di setiap makam saya selalu bermimpi bertemu dengan
orang berwajah penuh wibawa, orang itu memberikan dan menaruh bara api di atas
kedua telapak tangan saya. Dan anehnya, meskipun saya merasa kepanasan memegang
bara api itu, kedua telapak tangan saya tetap menggenggamnya dengan kuat. Dan
saya baru bisa menterjemahkan peristiwa-peristiwa dalam setiap mimpi-mimpi itu
setelah bertemu dengan orang mesterius. Dan itu berulang-ulang kali terjadi. Sampai akhirnya dua
belas hari berlalu tanpa terasa. Di hari keduabelas kaki saya telah menginjak
tanah di daerah Banten. Di sana saya berhenti sebentar untuk melihat sebuah
acara haul tokoh ternama di sana. Di kalangan pesantren, tokoh ini sangat
terkenal. Ia adalah syech Nawawi dari Tanara, pengarang kitab-kitab sunni, di
antaranya yang paling terkenal adalah kitab Matan Arbain, tafsir Al-Munir dan
masih banyak lagi.
Saya baru tahu bahwa saya sudah berada di daerah Tanara,
baratdaya ujung pulau Jawa, dikampung inilah, Sang Syech dIlahirkan. Dan setiap
tahun upacara haul ini dirayakan untuknya. Saat itu saya duduk di barisan
paling belakang, tiba-tiba seorang panitia menghampiri saya dan menyuruh saya
ke barisan paling depan duduk bersama para tokoh lain. Tetapi saya menolaknya. Saya tidak berani. Karena saya
bukan siapa-siapa. Sesaat setelah panitia itu pergi salah seorang yang duduk di
deretan paling depan dengan pakaian ala kiyai menghampiri saya dan berkata, “
Ikutilah orang itu kalau kamu ingin menemuiku””, sambil menunjuk gembel yang
selalu menuntun saya dalam perjalanan ke barat. Tanpa berpikir panjang saya bangkit dari duduk dan
berjalan mengikuti si gembel yang telah lebih dulu meninggalkan tempat acara.
Sambil bejalan saya mengingat-ingat kata-kata yang diucapkan Kiyai yang
menyuruh saya untuk mengikuti si gembel. Kenapa saya harus menemuinya, Siapa
dia ? Setelah lama berjalan saya baru ingat kiyai tadilah orang
misterius yang pernah menggetarkan hati saya di Blitas waktu itu. Perjalanan saya mengikuti jejak orang gila itu membawa
saya ke wilayah Bogor, dan seperti dalam sandiwara, saya baru saja menemukan
jawaban atas rasa penasaran yang berkecamuk dalam pikiran, tampak dari kejauhan
orang berjubah melambaikan tangan ke arah saya. Ternyata orang misteriusnyang saya cari telah menunggu saya
di teras rumah sederhana yang misterius. Sampai di sana saya langsung disuruh
masuk dan berbincang-bincang sebentarsekedar basa-basi, kemudian ia menyuruh
saya untuk membersihkan tubuh lalu diajak makan bersama. Setelah istirahat
sejenak ia memanggil saya dan memberikan wejangan yang harus saya perhatikan
dan jalankan.Wejangan pertama adalah perintah untuk konsisten dalam beribadah, apapun bentuk ibadahnya,
yang penting istiqomah atau konsisten.
- Wejangan kedua menanamkan keyakinan dalam hati bahwa apa yang kita butuhkan selalu dicukupi oleh Allah.
- Wejangan ketiga, perintah untuk berjalan sesuai dengan ridho Allah.
- Wejangan keempat adalah perintah yang harus saya lakukan saat itu juga, yaitu melakukan perjalanan dari Bogor sampai Bali berangkat lewat jalur utara dan pulang lewat jalur selatan.
Saat itu banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran saya,
apalagi wejangan keempat yang sangat menakutkan itu, tetapi kewibawaan beliau
membuat mulut saya tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Dan hanya kata-kata
inggih sendiko dawuh yang mampu keluar dari bibir saya waktu itu.
PERJALANAN JAWA-BALI
Malam itu sekitar pukul 00.00, saya berpamitan dan minta
do’a restu kepada beliau agar bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan selamat
dan mampu menghadapi segala macam rintangan dan godaan. Saya akan menceritakan pengalamman-pengalaman mistis yang
terjadi saat berziarah di makam-makam keramat selama perjalanan Jawa-Bali
melalui dua jalur, yaitu jalur utara yang merupakan tempat penyebaran Islam
murni dari para pedagang-pedagang keturunan Arab sementara jalur selatan
merupakan tempat penyebaran Islam dengan jalur kejewen. Saya memulai perjalanan dari Bogor menuju arah Jakarta
Utara. Dalam perjalanan kali ini si gembel tidak menuntun lagi, saya hanya
melangkahkan kaki ke arah timur. Akhirnya saya melewati sebuah makam yang penuh dengan
energi positif dan banyak dikunjungi oleh para peziarah dengan maksud dan
tujuan tertentu. Makam yang terletak di dekat laut utara itu adalah
makamnya Habib Husen. Saya tidak mengetahui latar belakang dan sejarah beliau.
Tetapi saya harus melakukan ritual di setiap makam yang saya lewati, karena
kata orang mesterius yang memberikan tugas melakukan perjalanan ini saya akan
mendapatkan banyak pelajaran dari para tokoh penyebar Islam yang raganya telah
terpisah dengan ruh. Makam beliau sangat terawat, sehingga memudahkan setiap
orang yang akan melakukan doa di sana. Saat itu malam sudah larut, suasana
sudah sepi, hanya satu dua orang saja yang masih tampak khusyuk melantunkan
bacaan-bacaan Al-Qur’an.
Akhirnya saya mencari posisi di sebelah barat nisan
beliau dan melakukan ritual. Setelah selesai saya tidak langsung meninggalkan tempat. Saya pejamkan
mata dan mengatur nafas agar hati saya bisa mencapai damai. Beberapa saat kemudian ada bau harum dan hembusan angin
yang menyapu bagian wajah saya, tiba-tiba telinga saya mendengar orang yang
memberikan salam.entah mimpi, entah nyata saat itu mata saya terasa terbuka dan
melihat sosok tubuh tinggi, wajah seperti orang arab, dengan pancaran sinar di
raut muka membuat orang itu tampak penuh dengan wibawa, ia menyunggingkan
senyuman. Tanpa sepatah katapun keluar dari kedua belah bibirnya,
beliau mengambil sesuatu dari balik jubahnya dan ternyata bara api sudah berada
di kedua telapak tangan dan setelah itu ia menyodorkannya kepada saya .
peristiwa ini persis yang saya alami saat melakukan perjalanan mencari orang
misterius. Lalu orang berjibah itu meninggalkan tempat duduk , dan
ternyata mata lahir saya mulai terbuka, saya mencari-cari bara api yang saya
pegang tadi. Tidak ada. Mungkin ini hanya mimpi atau kenyataan di luar mata
lahir. Dari makam beliau saya melanjutkan perjalanan ke arah
timur sampai di daerah Cirebon. Di sana saya menziarahi makam salah satu
anggota wali yang sangat terkenal, yaitu makamnya Syarif Hidayatullah yang
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Di makam sunan Gunung Jati ini saya tinggal salam dua
hari dua malam. Malam pertama saya melakukan ritual tidak mengalami
peristiwa apapun yang bisa membuat saya mendapatkan pelajaran berharga, karena
itu saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini sampai memperoleh pelajaran
gaib. Dengan memperbanyak dzikir akhirnya orang berjubah penuh
wibawa menemui saya sesaat setelah saya tertidur di pojok serambi masjid.
Beliau mengajarkan mantra-mantra Arab yang biasa diamalkan oleh orang-orang
thoriqot.
Dan sebuah pesan yang saya ingat sampai sekarang. Pesan itu adalah perintah untuk berjuang ada adanya dan
jangan sampai berjuang karena pamrih. Saya tak perlu menjelaskannya panjang
lebar tentang makna dari pesan tesebut. Saya yakin para pembaca sangat
memahaminya. Pesan kedua adalah perintah untuk makan yang enak dan
tidur yang nyenyak. Saat itu saya bingung pesannya kok begini, sangt mudah
sekali. Tetapi setelah saya renungkan ternyata makan yang enak dan tidur yang
nyenyak adalah anjuran untuk perpuasa. Karena makan yang enak itu bisa kita
rasakan saat kita lapar, dan tidur yang nyenyak adalah tidur di kala rasa
kantuk sudah tidak tertahan lagi. Anehnya setelah bangun dari tidur saya sama sekali tidak
lupa pelajaran thoriqot dan pesan singkat penuh dengan makna itu. Mantra-mantra
yang beliau berikan bisa saya lafatkan melalui kedua bibir saya sebagaimana
yang telah diajarkan oleh beliau. Hal 36. Setelah mendapatkan pelajaran yang amat sangat berharga
itu, saya melanjutkan perjalanan ke arah timur melaksanakan tugas dari orang
misterius. Perjalanan saya berhenti ketika melewati Makam Sunan
Kalijaga di Jawa Tengah. Di makam ini saya hanya menginap semalam karena telah memperoleh
pelajaran. Makam beliau berada di dalam sebuah bangunan joglo yang
tertutup dan hanya dibuka pada hari-hari tertentu. Di luar makam terdapat
makam-makam para santri dan keluarga beliau. Di depan pintu masuk bangunan makam, di saat itu
menjelang dini hari, tidak ada satu pun peziarah yang melakukan ritual. Hanya
saya dalam duduk bersila sambil melafalkan bacaan-bacaan yang diajarkan oleh
Sunan Gunung Jati. Tiba-tiba ada sosok tinggi besar berpakaian surjan
komplit dengan blangkon sebagai tutup kepala keluar dari bangunan utama di mana
Sunan Kalijaga dimakamkan. Ia menghampiri dan duduk di sebelah kanan saya yang
masih belum selesai melakukan ritual. Beberapa saat kemudian saya menyelesaikan bacaan ritual.
Dan orang itu memegang bahu saya sambil memberi nasehat-nasehat untuk saya bawa
sebagai tutunan menjalankan kehidupan di dunia ini. 37 Beliau mengingatkan saya bahwa jangan terpengaruh dengan
pangkat derajat di mata manusia. Karena Allah hanya melihat ketaqwaan seseorang
bukan derajat dan pangkat duniawi yang penuh dengan kebohongan. Beliau juga memberi semangat kepada saya untuk meneruskan
perjalanan spiritual ini dengan wejangan yang menyatakan bahwa untuk
mendapatkan kenikmatan tidaklah mudah, harus melewati rintangan dan hambatan.
“Teruskan perjalanan ini, sabar dan syukur
harus tetap kamu tanam dan pupuk terus menerus dalam hatimu, nanti kamu akan
mendapatkan sesuatu yang tidak kamu duga”. Setelah itu beliau menyuruh saya segera meneruskan
perjanan. Dari makam Sunan Kalijaga saya menuju ke arah timur sampai akhirnya
menginjakkan kaki di Kota Kudus. Di daerah Kudus inilah saya dulu pernah belajar Al-Fatihah
selama tiga bulan dipesantren Mbah Kyai Arwani. Tetapi saya tidak mampir ke
pesantren beliau, saya langsung menuju makam Sunan Kudus. Di Kudus saya tinggal selama tiga
hari. Di makam inilah saya mendapat pengalaman mistis. Setiap usai
shalat saya selalu sempatkan untuk melakukan ritual di samping makam Kanjeng
Sunan. Dan setiap kali melakukan ritual,
di sekeliling tempat saya selalu ada hembusan angin
yang membawa bau yang sangat harum, bahkan hidung ini belum pernah
mencium bau seperti ini sehingga saya tidak bisa menggambarkannya. Hanya peristiwa itu yang saya alami selama tiga hari di
makam beliau. Tidak ada yang menemui saya, tidak ada nasehat yang tertangkap
oleh indra pendengaran saya. Mungkin beliau hanya memberikan pelajaran melalui
bau harum yang senantiasa menyertai ritual saya dan agar saya bisa
menterjemahkan dan memahaminya sendiri. Setelah saya berusaha untuk memahami pesan tersebut, saya
memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Dari makam Sunan Kudus saya
lanjutkanperjalanan ke makam Sunan Muria.
Makam beliau terletak di atas bukit Muria yang cukup
tinggi. Udara di sana sangat mendukung untuk kegiatan ritual di malam menjelang
karena keadaan yang sudah sepi ditambah hembusan-hembusan angin dari sela-sela
pepohonan yang masih rimbun.
Disana saya tinggal selama lima
hari. Karena hari pertama sampai hari keempat saya tidak mengalami dan
menemukan peristiwa apapun sehingga saya memutuskan untuk tinggal sampai mendapatkan
pelajaran, sebab inilah yang saya cari.
Malam hari ke lima saat saya tertidur di serambi masjid
sebelah makam, ada seseorang berperawakan besar, tinggi dan berjenggot
berpakaian serba hitam dan memegang rokok menghampiri saya untuk meminjam korek
api.
Ketika menyalakan korek api dia berkata,” Api ini panas jika dipegang dan akan mati jika dibuang,”
sambil tangannya memperlihatkan bara api pada rokok yang baru nyala.
Kemudian tiba-tiba dia mematikan rokoknya yang baru
dinyalakan sambil berkata,”Kalau rokok ini tidak
saya nyalakan lagi, maka tidak akan menyala.” Setelah itu ia
meninggalkan saya dalam keadaan bingung tanpa bosa-basi sama sekali.
Saat dalam keadaan bingung itulah saya mengerjap
mencari-cari sesuatu, dan ternyata saya telah tertidur pulas dan bermimpi. Saya
terbangun saat adzan Subuh menggema di sela-sela pepohonan di bukit Muria.
Usai shalat Subuh saya merenung sejenak pesan dalam mimpi
sambilmulut tetep bertasbih kepada Allah. Dari perenungan tersebut saya
memperoleh sedikit pengetahuan, mungkin maksud dari pesan tersebut adalah
peringatan kepada saya jika ingin menjalankan agama dengan benar pasti
gangguannya sangat berat sebagaimana kita memegang bara api, dan jika kita
ingin menyebarkannya, maka kita harus bertindak dan berbicara sebagaimana jika
kita ingin merokok, kita harus menyalakannya lebih dahulu.
Di makam Sunan
Muria, pesan yang saya peroleh hampir saya dengan pesan-pesan di makam-makam
yang saya ziarahi saat berangkat ke arah barat mencari orang misterius.
Di sini pula saya baru menemukan jawaban pesan-pesan yang
saya terima pada saat perjalanan ke arah barat mencari orang misterius.
Selain pesan di atas ada pengalamanyang cukup menakutkan
dan membuat bulu kuduk, merinding, tetapi peristiwa itu harus saya alami.
Setiap kali saya melafatkan bacaan-bacaan yang telah diajarkan oleh Sunan
Gunung Jati, selalu muncul di depan mata sebuah tangan yang berputar-putar
mengelilingi tempat saya duduk melakukan ritual, kadang-kadang kaki tiba-tiba
datang seolah mau menendang dan yang paling menakutkan serta menjijikkan adalah
kepala dengan rambut tak tertata dengan wajah jelek penuh bisul tertawa
menghina di depan mata saya. Al-hamdulillah semua itu bisa saya lampaui dengan
sabar meskipun harus berjuang untuk tidak jatuh pingsan karena ketakutan.
Dari makam Sunan Muria saya melangkahkan kaki terus ke
arah timur sampai di daerah Jepara. Di Jepara terdapat makam seorang tokoh wali
yang ajarannya sampai saat ini masih kontroversial, yaitu Syech Siti Jenar.
Makam beliau sangat unik sekali, dengan ornamen gaya
Jawa. Pintu masuknya adalah gapura jawa yang erbuat dari susunan bata merah
dengan ukiran besar-besar sehingga aura mistiknyaterlihat sangat kental.
Sebelum memasuki area makam dan melakukan ritual, saya
dicegat oleh orang kurus, tinggi dan berjenggot putih, ia memakai hitam model
surjan dan berikat kepala blangkon tanpa mondolan, bercelana hitam kombor dan
matanya yang nanar manatap saya dengan tajam sambil dengan membuka mulut ia
berbicara,” Teruskan perjalananmu, di sini bukan bidangmu !” katanya dengan
nada membentak.
Akhirnya saya tidak jadi masuk areal makam untuk
melakukan ritual dan melanjutkan perjalanan ke arah timur sampai di kota Lasem
di mana terdapat sebuah petilasan atau tempat yang dulu pernah digunakan oleh
Sunan Bonang untuk munajat kepada Allah.
Meskipun hanya sebuah petilasan, tetapi
tempat ini memiliki aura dan energi positif yang sangat dahsyat. Di petilasan
ini saya melakukan ritual seperti biasanya. Saat tengah melakukan ritual
tiba-tiba ada suara yang menyuruh saya berhenti sebentar dari bacaan-bacaan
ritual. Kemudian suara itu memberi nasehat agar saya kelak mendirikan sebuah
pesantren sebagai sarana untuk mengamalkan ilmu.
Selain itu suara itu juga mengajarkan
beberapa mantra atau aurad ( wirid) yang harus saya amalkan dalam laku
spiritual, serta perintah untuk menjaga ilmu kewalian. Kata beliau ilmu
tersebut bisa dijaga jika saya tidak takut susah
dan tidak berharap bahagia.
Selanjutnya perjalanan saya teruskan ke arah timur, ke
Kota Tuban
Di tuban terdapat makam salah seorang wali
tanah jawa yang terkenal dengan sebutan wali sembilan, yaitu Sunan Bonang.
Di makam beliau saya tidak lama, meskipun
tidak mendapatkan pengalaman mistik yang berisi pelajaran-pelajaran berharga
sebagai bekal untuk hidup mengarungi bahtera dunia. Entah kenapa saya merasa
lebih baik segera meneruskan perjalanan padahal biasanya kalau tidak
mendapatkan pelajaran dan pengalaman mistis saya enggan rasanya meninggalkan
tempat.
Setelah melakukan ritual seperti biasa, saya
meninggalkan makam Sunan Bonang meskipun tanpa pengalaman dan pelajaran mistis
dari beliau.
Kemudian saya melanjutkan perjalanan sampai
di makam Syech Ibrahim Asmarakandi, Gesikharjo Palang. Saya menginap selama empat hari di makam beliau meskipun tidak tidur di
areal pemakaman.
Setiap
malam saya selalu tidur di emperan masjid dekat makam. Dan setiap malam
pula saya melakukan ritual di bekas imaman masjid lama setelah sorenya
melakukan ritual di makam syech Ibrahim Asmarakandi.
Saya memilih bekas imaman lama, karena tempat
ini terasa sekali aura positif yang bisa membantu menata hati dan menidurkan
pikiran dengan lebih baik.
Saat orang hilir mudik mencari makan dan
melihat-lihat suasana malam, mata saya terpejam dan raga saya istirahat. Setelah
orang meninggalkan aktivitas untuk mengistirahatkan tubuh mereka dengan selimut
kegelapan, selalu ada orang tinggi besar yang membangunkan saya dan
mengingatkan bahwa saya harus segera melakukan ritual di tempat yang telah saya
pilih tadi.
Peristiwa itu berulang sampai malam terakhir
saya menginap di sana. Malam itu selain membangunkan saya dan mengingatkan saya
untuk melakukan ritual dia juga menyuruh saya untuk meneruskan perjalanan jika
ingin mendapatkan ridlo Allah.
Dari petilasan Sunan Bonang saya lanjutkan
perjalanan sampai di kota Gresik. Selain terkenal dengan semennya kota ini juga
terkenal dengan makam para tokoh penyebar Islam di antaranya adalah makam tokoh
perempuan pertama masuk Islam, yaitu Fatimah binti Maimun.
Di makam beliau saya tinggal selama tiga hari dengan harapan ada pelajaran berharga dari
beliau, karena beliau adalah seorang pemberani di mana saat itu belum ada yang beranimemilih
agama baru,tetapi beliau berani menentang arus dan tidak takut dikucilkan,
dihina ataupun dianiaya. 45
Tiap malam ritual saya lakukan di dalam makam. Saat malam terakhir
di sana, setelah melakukan ritual, saya dikejutkan oleh pesona seorang wanita
yang sangat cantik memakai kebaya putih
serta jarit bermotif batik dengan warna putih yang dihiasi oleh kerudung juga warna putih
datang menghampiri tempat duduk saya dengan penuh cahaya.
Perempuan cantik itu langsung duduk di
sebelah kanan saya dan melafalkan bacaan-bacaan berbahasa Arab campur Jawa.
Anehnya kalimat-kalimat itu sudah tidak asing di telinga saya karena sama
persis dengan apa yang telah saya peroleh di makam Sunan Gunung Jati.
Setelah membaca doa perempuan cantik itu
menoleh ke arah saya. Detak jantung saya berdebar dengan kencang, keringat
dingin keluar dari sekujur tubuh saya.
Bulu kuduk saya berdiri sehingga kulit leher terasa menebal, rasa ini pernah
saya alami ketika bertemu dengan orang misterius di Blitar beberapa waktu lalu.
Mungkin saya rasa semacam ini muncul karena
saat itu makam dalam keadaan sepi, tidak ada seorang peziarahpunyang melakukan
ritual di sana, sehingga saya ditemani dengan seoang wanita yang sangat cantik.
Apalagi saya seorang pemuda yang tidak biasa berhubungan akrab dengan seorang
wanita apalagi hanya berduaan saja.
Senyum yang ia sunggingkan menambah detak
jantung sayasemakin menderap kencang, tanpa menunggu balasan senyum dari kedua
bibir saya yang masih dalam keadaan linglung ia berkata dengan lembut,” Mas, zaman sudah akhir, Islam tinggal nama, dan Al-Qur’an
tinggal tulisan.” Suaranya amat sangat lembut membuat kata-kata itu
tertanam dengan kuat di ladang hati. Ibarat tanaman subur, tanpa pupukpun ia
akan tumbuh dengan baik.
Kemusdian ia berdiri seraya menepuk bahu saya
yang masi dalam keadaan terpesona, ia berpesan,”Pergilah ke Sunan Giri dan
ingat kata-kata yang telah keluar dari kedua bibir saya!” Katanya dengan penuh
kelembutan.
Ia melangkah dengan penuh gemulai tapi penuh
dengan wibawa sampai bayangannya menghilang di kegelapan. Sementara saya masih
dalam posisi duduk dengan kondisi menggigil ketakutan.
Setelah saya bisa mengontrol keadaan, saya
melanjutkan perjalanan ke arah timur dan
menuju ke makam Sunan Giri sebagaimana petunjuk dan anjuran dari wanita yan
sangat cantik tadi yang menemui saya di makam Fatimah binti Maimun.
Selama tiga hari
saya melakukan ritual di makam Sunan Giri, saya tidak mengalami peristiwa
apapun apalagi
pelajaran seperti yang saya dapat sebelumnya. Tapi saya merasa penasaran kenapa
perempuan cantik itu menyuruh saya untuk tinggal di makam ini membuat hati saya
tetap kuat dan sabar menunggu pengalaman yang akan menjadi guru berharga bagi
saya.
Memang kesabaran sangat dibutuhkan jika ingin
mendapatkan sesuatu yang lebih. Setelah saya memutuskan untuk tetap tinggal di
daerah Giri akhirnya malam ke empat di saat saya tertidur lelap seusai
melakukan ritual, tiba-tiba datang seseorang dengan wajah yang sangat
mengagumkan dengan jubah kuning yang
menutupi tubuh menambah kewibawaannya.
Beliau menghampiri dan menyalami saya sambil
menyodorkan Al-Qur’an dan duduk bersama mengajak membaca Al-Qur’an, saat itu
kami berdua membaca Al-Qur’an bersama-sama sampai sepuluh juz.
Setelah kami menyelesaikan bacaan juz sepuluh,
mata mengerlap kebingungan karena telinga saya mendengar sayup-sayup suara azan
subuh yang sahut menyahut membangunkan oranguntuk diajak sungkem kepada Gusti.
“ternyata hanya sebuah mimpi,” gumam saya
dalam hati. Tanpa mempedulikan mimpi semalam, saya segera melangkahkan kaki
untuk mensucikan raga dengan air suciagar bisa sujud kepada Allah dengan hati
yang tenang.
Usai menjalankan shalat subuh, mimpi itu
terlintas lagi dalam bayangan saya. Ada keinginan untuk mencoba melafatkan
bacaan-bacaan yang semalam meluncur melalui kedua bibir saya ini, siapa tahu
peristiwa ini seperti pengalaman-pengalaman di setiap makam yang saya ziarahi.
Setelah mendapatkan pelajaran biasanya otak langsung merekamnya dan hati
menyaring sehingga keluar dari mulut dengan baik dan benar sesuai dengan apa
yang saya dapatkan.
Awalnya belum yakin ketika melafatkan suratul
Fatihah, karena surat ini sudah saya hafal sejak kecil, tetapi setelah ayat
pertama sampai surat kelima surat Al-Baqarah saya masih bisa melanjutkan lafat demi lafat, ayat demi
ayat, surat demi surat, juz demi juz sampai juz sepuluh saya berhenti tidak
mampu lagi melanjutkannya.
Saya langsung sujudkan seluruh raga dan jiwa
kehadirat Allah. Hanya karena keagungan, rahman dan rahim-Nya sya bisa
memperoleh kenikmatan yang luar biasa ini. Hanya semalam saya bisa menghafal
Al-Qur’an dari juz pertama sampai juz sepuluh. Subhanallah.49
Dengan peristiwa yang saya alami membuat hati
berharap agar Allah memberikan kesempatan semalam lagi sampai saya
menyelesaikan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
Untuk mewujudkan harapan itu bibir saya tiada
henti melafatkan dzikir mengagungkan Allah sertaterus menerus memohon dalam
hati anugerah Ilahi berupa amanat untuk menghafal dan mengaMALKAN Al-Qur’an.
Alhamdulillah, dengan selimut rahman dan
rahim serta bantal petunjuk-Nya malam itu beliau yang telah mengajarkan
Al-Qur’an datang kembali untuk mengajak saya bersama-sama belajar dan
melantunkan ayat-ayat suci meneruskan bacaan kemarin yang baru sampai juz
sepuluh.
Seperti malam sebelumnya, kami berhenti
melafatkan ayat-ayat suci pada ayat terakhir juz dua puluh. Dan saya terbangun
oleh gema suara adzan subuh yang bersahutan dari beberapa mushola dan masjid di
daerah Giri.
Usai menunaikan shalat subuh saya mencoba
untuk melafalkan kembali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang telah terpatri dalam
pikiran dan hati saya dari juz pertama sampai juz dua puluh yang saya dapatkan
dalam mimpi semalam.
Lagi-lagi kebesaran dan keagungan Allah
membuat hati terharu,uraian air mata tak tertahan keluar dari bibir saya. Mimpi
semalam menjadi kenyataan kembali, saya
mampu mengingat dan menghafal ayat-ayat suci yang saya baca benar dan tepat.
Kembali saya sujudkan kepala dan seluruh
organ-organ raga dan segenap jiwa untuk bersyukur atas nikmat dan anugerah maha
indah dari-Nya.
Dengan tetap memperbanyak dzikrullah dan
menanamkan harapan dalam hati untuk menyelesaikan menghafal ayat-ayat suci
Al-Qur’an sampai juz terakhir, juz tiga puluh.
Malam berikutnya peristiwa itu terjadi
kembali meneruskan pelajaran berikutnya, yaitu juz dua puluh satu sampai juz
tiga puluh dan lidah serta bibir saya mampu melantunkannya keesokan hari.
Setelah saya menyelesaikan membaca dari juz
duapuluh satu sampai juz tiga puluh, beliau menyuruh saya untuk mencari guru
yang masih hidup untuk membaca doa khatam Al-Qur’an. Dan kelak guru yang
membacakan doa tersebut adalah orang misterius itu.
Dari makam beliau saya menyempatkan diri
menziarahi makam Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq. Di kedua makam
tersebut saya tidak mengalami peristiwa-peristiwa mistis yang bisa diambil
pelajaran untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Setelah selesai melakukan ritual di makam
kedua wali tersebut, saya melanjutkan perjalanan ke arah timur sampai di daerah
Amperdenta. Di Ampel saya tinggal selam enam hari untuk mempelajari makna dan
kandungan Al-Qur’an secara ghaib.
Sya tiba di makam Sunan Ampel pada jam
sembilan malam. Setelah mandi dan shalat Isya’ saya menuju areal makam untuk
melakukan ritual.
Satu jam kemudian saya juga menyempatka untuk
melakukan ritual di makam mbah Bolong yang terletak di belakang imaman masjid
dan mbah Soleh yang makamnya ada sembilan di depan masjid.
Tepat jam satu dini hari saya mencuci muka
untuk menghilangkan kantuk yang
menggelayut di kedua bola mata. Kemudian saya menuju pojok sebelah kanan
pengimaman masjid Ampel. Setelah melakukan beberapa shalat sunat saya berikan
kesempatan raga ini untuk berbaring sebentar untuk merasakan kenikmatan dan
membiarkan sukma melayang-layang di alam maya dengan harapan ada pelajaran
ghaib yang saya terima.
Mungkin beberapa saat setelah raga
sayabenar-benar istirahat, terasa ada sentuan halus di bahu kanan saya seolah
membangunkan sukma saya yang juga kecapean setelah melakukan perjalanan yang
sangat panjang.
Bau wangi tiba-tiba mengharumkan seluruh
ruangan masjid dimana raga saya terlentang menikmati istirahat. Beberapa saat
kemudian ada orang berjubah putih dengan
ikat kepala dari surban diiringi dua orang yang berpakaian ala santri
menghampiri dan membangunkan saya.
Ketiga orang tersebut mengajak saya untuk
pergi menuju ke areal makam Sunan Ampel. Saat itu keadaan makam sangat sepi,
tak seorang pun tampak melakukan ritual di sana. Di sebelah barat makam Kanjeng
Sunan Ampel terdapat sebuah bangunan yang digunakan untuk meletakkan
kitab-kitab suci AL-Qur’an dan kumpulan-kumpulan doa serta buku-buku tuntunan
dan tata cara berziarah tertata rrapi
dalam rak buku.53
Di tempat itu telah tertata sebuah dampar
(meja kecil) dan sebuah kitab Al-Qur’an. Kemudian orang yang berjubah putih
mengajak saya duduk dan mengaji serta mengkaji Al-Qur’an. Sementara dua orang
yang berpakaian santri tersebut duduk di belakang saya.
Selain mengajari saya cara membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar, beliau juga mengajarkan kepada saya makna dan cara
pengamalannya (praktek) dalam kehidupan sehari-hari.
Sesaat setelah beliau menyudahi pelajaran,
saat itu juga gema suara adzan subuh terdengar merdu membangunkan setiap hati
yang beriman. Dan ternyata saya masih tetap berada di dalam masjid dengan mata
yang masih menahan rasa ngantuk.
Berarti semalam sukma saya benar-benar
melanglang mendapatkan suatu pelajaran yang sangat berharga.
Usai shalat saya mencoba untuk melafalkan
pelajaran yang saya peroleh melalui mimpi semalam, mungkinkah peristiwa di
makam Sunan Giri terulang di sini ? Pertanyaan ini memenuhi benak saya. 53
Dan alhamdulillah ternyata dengan rahman dan
rahim-Nya saya tetap diberi kesempatan untuk belajar di alam maya, karena apa
yang terjadi di alam mimpi bisa saya praktekkan setelah saya terbangun dari
tidur.
Saya menyelesaikan pelajaran cara membaca dan
makna serta bagaimana mempraktekkan atau menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup dan tuntunan dalam mengarungi kehidupan dunia selama enam hari.
Dari makam Sunan Ampel di Surabaya saya
melanjutkan perjalanan menyeberang ke pulau Madura. Sampai di pelabuhan Tanjung
Perak saya kebingungan. Berdiri di bibir dermaga sambil memandang orang yang
naik kapal Feri tujuan Madura. Keraguan saya menggelayut dalam hati, bagaimana
saya bisa sampai keseberang. Berenang tidak mungkin. Mau naik kapal takut tidak
diperbolehkan karena selain tak punya uang apa mungkin orang dengan pakaian
lusuh, kumal seperti orang gila ini naik kapal mewah seperti itu.
Tiba-tiba pengawas tiket masuk ke kapal
berteriak memanggil nama saya. Entah dari mana dia tahu, tangannya
melambai-lambai ke arah saya. Sedikit rasa takut menyelinap dalam dada, salah
apa gerangan sehingga dia memanggil saya.
Ketakutan itu sirna tatkala salah seorang
petugas sambil menepuk pundak saya berkata,” Cepat naik ke atas kapal sudah mau
berangkat”. Sambil keheranan saya meninggalkan mereka dan naik ke atas kapal.
Mungkin ini salah satu pesan yang diberikan
orang misterius itu, memang benar kehidupan kita selalu dicukupi oleh Allah
meskipun tanpa kita minta. Ia maha Tahu akan keperluan semua hamba-Nya.
Mudah-mudahan perjalanan ini tetap dipayungi oleh ridlio-Nya dan diselimuti
oleh rahman dan rahim-Nya.
Setelah kapal sampai tujuan dan berlabuh,
saya segera turun dan melanjutkan perjalanan. Tempat yang saya tuju adala
Bangkalan dimana dimakamkan seorang ulama terkenal, Kyai Kholil Bangkalan.
Beliau adalah seorang guru tokoh pendiri NU hadrotus- Syech Hasyim Asy’ari.
Sampai di makam beliau matahari sudah
tenggelam. Dan gelap mewarnai suasana saat itu. Saya duduk bersila sambil
melakukan ritual persis seperti biasanya. Setelah ritual selesai, masih duduk
dalam posisi bersila dan mata terpejam, tiba-tiba ada seseorang yang melakukan
ritual persis seperti yang telah saya lakukan.
Tetapi saya tetap dalam posisi semula tanpa
membuka mata. Beberapa saat kemudian suara orang itu berhenti, dan kemudian ia
sentuh bahu saya dan berkata,” Bangunlah dan lanjutkan perjalananmu, pergilah
ke makamnya Abu Syamsudin .”
Rasa terkejut saya belum lagi sirna, orang
yang menepuk bahu dan membangunkan saya telah lenyap, hanya bu wangi yang
tertinggal dan menemani saya dalam suasana sepi di makam itu.
Saya yakin peristiwa tadi adalah petunjuk
yang senanatiasa menyertai perjalanan spiritual ini.
Sesuai pesan yang saya dapat, keesokan
harinya dari makam syaikhuna Kholil, saya melanjutkan perjalanan dan mencari
makam Abu Syamsudin.
Setelah perjalanan cukup jauh akhirnya saya
sampai juga di makam beliau saat kumandang adzan Isya’ menggema. Makam beliau
masih berada di pulau Madura.
Di tempat ini saya tinggal cukup lama sekitar
10 hari. Saya tabarrukan kepada beliau. Mulai
malam pertama saya melakukan ritual, saya selalu ditemui orang berjubah dengan
wajah penuh kasih yang mengaku bernama Abu Syamsudin. Saya cium tangannya yang
selalu dalam keadaan harum.
Kepada beliau saya belajar banyak tentang Al-Qur’an.
Pelajaran-pelajaran beliau merupakan pendalaman apa yang telah saya peroleh di
Giri dan Ampel. Pertemuan saya dengan beliau tidak melalui mimpiseperti di
beberapa makam yang telah saya ziarahi. Melainkan dalam kondisi sadar, saya
mengaji dan mengkaji Al-Qur’an bersama beliau. Setelah menyelesaikan pelajaan,
beliau menyuruh saya untuk meneruskan perjalanan menuju daerah Tala’o. Di
daerah itu terdapat makam Syech Yusuf.
Dengan bekal sisa-sisa kekuatan dan keinginan
yang menggebu untuk membuka tabir penghalang hubungan antara hamba dengan
Tuhannya. Saya pun berangkat mencari makam Syech Yusuf.
Setelah berjalan cukup jauh dan melelahkan
sampai juga di makam Syech Yusuf, seorang ulama terkenal yang dimakamkan di
daerah Tala’o.
Sesaat setelah saya melakukan ritual, datang
seorang yang mengenakan baju koko putih, bersarung kotak-kotak putih,
dilengkapi dengan songkok hitam sebagai tutup kepala menghampiri saya dan berpesan,” Pergilah !
Teruskan perjalananmu! Cari makam yang menghadap timur-barat.”setelah
mengatakan pesan itu kepada saya ia pergi begitu saja.57
Setelah beberapa saat melepaskan lelah, sata
beranjak meninggalkan makam Syech Yusuf dan mencari makam yang menghadap arah
timur-barat.
Saya berjalan cukup jauh. Lelah belum lagi
sirna, tampak di depan sungai yang cukup besar membentang, di mana sungai ini
merupakan pertemuan antara air tawar dan air asin yang terdapat arus pusaran
yang cukup menakutkan bagi siapa saja yang akan
menyeberanginya.
Saya berdiri di bibir sungai dalam kondisi
kebingungan, tiba-tiba ada seorang yang naik rakit, tapi rakit itu tidak dari
bambu, melainkan dari balok-balok kayu yang cukup besar mmenawarkan bantuan.
Tanpa pikir panjang saya menerima tawaran tersebut, yang penting bagi saya saat
itu bisa sampai tujuan. Tidak lama kemudian saya telah sampai di tengah-tengah
sungai. Dan ternyata benar di sana ada arus pusaran yang menakutkan.
Tiba-tiba rakit yang kami tumpang berjalan
lebih cepat dan makin cepat. Rasa takut nyeri dan khawatir menyelimuti hati
saya. Hanya pasrah yang bisa saya lakukan.
Sementara nahkoda krakit tetap duduk tenang
sambil berusaha mengendalikan arah jalannya rakit.
Dengan mata terpejam, dan dada berdegup
kencang, rakit mulai menuju arah arus dengan kecepatan tinggi. Bersama dengan
suara teriakan kami, akhirnya rakit itu ludes dimakan pusaran. Masih dalam mata
terpejam dan ketakutan saya merasa bingung, di mana saya ini, sudah matikah
saya?
Ternyata saya berdiri di depan sebuah makam
yang sangat bersih, dan tampak peziarah lalu-lalang. Saya akhirnya mencari
tempatuntuk membersihkan diri. Setelah mengganti pakaian saya menuju arah
makam. Ternyata saya telah menemukan makam yang menghadap arah timur-barat
sesuai nasehat dari Syech Yusuf.
Tetapi saat itu saya belum mengetahui makam
siapa yang menghadap timur-barat ini. Pada waktu kaki saya melangkah menuju
makam, di tengah jalan ada orang yang berpakaian ala Arab menghentikan langkah
saya. Dia bertanya,” Untuk apa kamu datang ke makam Arsid Al-Banjari?” tanpa
ada embel-embel syech atau kyai.
Oo. . . . ini adalah makam Syech Arsid
Al-Banjari, dan dalam hati saya bertanya siapa gerangan orang ini, kok tidak
tahu sopan santun, memanggil orang suci dengan cara seperti itu. Belum sempat
saya menjawab pertanyaan orang itu, dia telah menghilanglebih dulu tanpa
sepengetahuan saya yang masih dalam keadaan bingung.
Kemudian saya berjalan menuju ke arah makam.
Di tengah-tengah ritual dia datang lagi dan langsung duduk di samping saya, dan
mengikuti lafadz-lafadz yang keluar dari bibir saya. 60
Jangan-jangan orang ini adalah Syech Arsid
Al-Banjari sendiri?” tanya saya dalam hati. Tetapi tidak ada keberanian untuk
menanyakan hal ini kepadanya, karena kewibawaannya yang membuat hati menciut
dan mata tertunduk segan.
Anehnya ia tahu pergulatan yang terjadi dalam
hati saya. Usai melakukan ritual, ia berkata,” Ya saya adalah Arsyid Al-Banjari
yang dimakamkan di tempat ini dan akulah yang dimaksud oleh Syech Yusuf. Dan
kamu jangan takut hanya kepada sebuah kewibawaan, karena semuanya datang dari
Allah, jika ia menginginkan sesuatu maka sesuatu itu pastilah terjadi, tetapi
jika ia ingin melenyapkan, maka lenyaplah, begitu juga kewibawaan.”
Saat itu juga saya sungkem dan mencium tangan
beliau sambil memohon agar beliau mengajari atau memberi petuah sebagai bekal
untuk mengarungi hidup duniawi yang menjadi sarana untuk mengabdi dan mencintai
Allah.
Sambil tersenyum beliau menjawab,” Jika kamu
ingin mendapatkan itu semua tempatnya bukan di sini, tetapi dalam hati yang
tiada satu tetespun jatuh jika seluruh air di muka bumi ini ditaruh ddan tiada
akan penuh jika seluruh daratan beserta isinya dimasukkan ke dalamnya. Terukan saja
perjalanan ini dan menyeberanglah kamu ke pulau Bali. Cari makam tokoh yang
menyebarkan Islam di daerah Negaran ! Kamu akan memperoleh pelajaran dan bekal
hidup dari perjalanan ini.”
Dari pulau Madura saya melanjutkan perjalanan
ke pulau Bali. Kebingungan mulai melanda hati dan pikiran tatkala laut lepas
tiada kelihatan batas terpampang di depan mata. Bagaimana saya bisa
menyeberangi lautan luas untuk sampai ke pulau Bali dan lautan ini adalah salah
satu jalan salain udara menuju pulau yang kata orang asing lebih terkenal dari
pada Indonesia sendiri.
Alhamdulillah, lagi-lagi dengan selimut rahman dan rahim-Nya Allah memenuhi kebutuhan
saya. Saat itu yang saya butuhkan adalah tumpangan yang bisa menyeberangkan
saya dari Madura sampai Bali. Ketika masih dalam keadaan termangu memikirkan
cara untuk menyeberang, tiba-tiba seorang melayan menghampiri saya sambil
melambaikan tangan agar menuju sampan kecilnya.
Nelayan ini ternyata orang Madura, karena ia
menggunakan bahasa Madura, sehingga dalam perjalanan kami tidak saling ngobrol,
sebab saya tidak menguasai bahasa Madura, tetapi anehnya nelayan itu nerocos
saja seolah bercerita tentang banyak hal, saya hanya memberikan sesungging
senyuman saat melihat nelayan itu tersenyum.
Meskipun hanya mengarungi laut yang
memisahkan antara pulau Bali dan Madura menggunakan sampan kecil tetapi mungkin
tidak kalah dengan kapal Feri yang digunakan sebagai sarana transportasi antara
pulau di laut itu. Tetapi dengan sampan kecil dan nelayan aneh itu, kami hanya
membutuhkan waktu amat singkat, atau barangkali hanya terasa singkat karena
cerita nelayan itu menyelimuti waktu selama perjalanan sehingga tidak terasa
lama.
Yang jelas saat itu saya sudah sampai di
bibir pantai pelabuhan Gilimanuk. Dan sayapun akhirnya turun sambil mengucapkan
terima kasih kepada nelayan aneh yang baik hati itu yang mau mengantarkan saya
menyeberangi lautan lepas. Sesungging senyuman puas ia berikan pada perpisahan
kami.
Mata saya masih mengantarkan kepergiannya,
sementara dalam pikiran berkecamuk seribu pertanyaan, orang aneh macam apa lagi
yang akan menyertai perjalanan ini? Tetapi ia kembali menyeberangilaut seperti
orang biasa tidak menghilang atau aneh-aneh? Ah, sudahlah yang jelas saya sudah
sampai di pulau Bali. 62
Dari pelabuhan Gilimanuk saya melanjutkan
perjalanan menuju Negaran sebagaimana petunjuk yang saya peroleh dari Syech
Arsyid Al-Banjari.stelah seharian berjalan akhirnya saya menemukan makam
seorang tokoh yang menyebarkanIslam di Bali kali pertama. Menjelang tengah
malam saya baru melakukan ritual. Tidak seperti makam-makam yang lain, makam
ini sepi sekali atau mungkin saat saya ziarah di sana bertepatan tidak ada
peziarah, saya tidak tahu, yang jelas saat itu sepi suasanannya.
Beberepa saat setelah saya melafalkan
doa-doa, datang seorang tua dengan pakaian adat Bali memberi salam kepada saya.
Saya menghentikan bacaan saya dan melihat dengan heran kepada orang itu.
“Selamat datang, mudah-mudahan kamu bisa
mengambil pelajaran yang bisa membuat kamu tidak terlalu keras dalam
menyebarkan agama. Tetapi kamu bisa mengolah hati mereka yang telah tertutup
dengan debu-debu kenikmatan duniawi, mata mereka yang silau dengan gemerlapan
duniawi.” Setelah berbicara sebentar, orang itu langsung meninggalkan tempat
saya melakukan ritual sambil berpesan, “Besuk pagi saya datang lagi dan akan
saya tunjukkan sesuatu kepadamu!”
Malam itu saya tidak tidur dengan harapan ada
pelajaran yang bisa saya peroleh dari tempat ini. Saya tidak berpikir bahwa
orang yang menemui saya tadi ternyata seorang tokoh penyebar Islam di Bali.
Karena memang tidak ada yang aneh dengan orang yang menemui saya semalam.
Benar, keesokan harinya orang semalam datang
lagi dan mengajak saya berjalan-jalan ke suatu tempat yang katanya menjadi
tujuan utama orang refresing ke Bali, yaitu pantai Kuta.
Masya Allah, hanya itu yang keluar dari mulut saya, seumur-umur baru kali ini melihat
orang yang begitu santai tanpa malu mengenakan pakaian tanpa bahan seperti itu.
Hanya “WC”-nya saja yang tertutup sangat minim. Pantas saja banyak orang yang
suka dengan tempat ini. Tempat orang-orang yang sumuk, kepanasan
sehingga enggan mengenakan baju.
Pesan yang disampaikan oleh orang mengajak
saya ke sana semalam teringat dalam benak saya. Mungkin ini yang dikatakan oleh
orang itu, agar saya tidak keras terhadap mereka yang masih diselimuti oleh
tebalnya kain kenikmatan duniawi, pastilah mereka akan lari jika saya memberitahukan kepada mereka
tentang aturan-aturan syariat Islam yang amat ketat. Hanya berlahan-lahan dan
menyelami keinginan mereka dan memberikan solusinya juga dengan pelan-pelan.
Ternyata di kemudian hari setelah saya
menyelesaikan perjalanan ini saya selalu berhadapan dengan orang-orang
yang mirip dengan mereka.
Saya harus dengan sabar mengajak para preman
dan anak-anak yang mencari kenikmatan instan dan menata hati mereka
pelan-pelan.
Setelah Bali dan lagu”Denpasar Moon” yang
saat itu didengar oleh setiap telinga di manapun ia berada, saya melanjutkan
perjalanan untuk pulang kepada orang mesterius yang telah menyuruh saya
melakukan perjalanan ini melalui jalur selatan. Jalur di mana mistis-kejawen
sangat kental.
Dari pelabuhan Gilimanuk kali ini saya naik
kapal Feri meskipun tidak membayar, karena orang yang telah mengajak
jalan-jalan saya ke pantai Kuta telah membelikan saya pakaian yang pantas dan
karcis untuk menyeberang menggunakan jasa kapal mewah bukan sampan yang penuh
dengan kejadian-kejadian ngeri dan menakutkan.
Sesampai di pelabuhan Ketapang saya
melanjutkan perjalanan dengan mengandalkan kaki pinjaman Allah ini. Saya hanya
berhenti saat waktu shalat tiba. Setelah melakukan shalat saya terus
melangkahkan kaki untuk segera menyelesaikan misi spiritual ini.
Perjalanan yang amat jauh, membuat kaki
melepuh, keringat membasahi seluruh tubuh. Baju kumal yang tetap menutup tubuh,
membuat saya seperti orang gila. Bahkan sering sekali anak-anak kecil
berteriak-teriak berlarian di belakang saya sambil sorak-sorai,” Orang gila . .
. . orang gila . . . !” tetapi itu semua saya jalani dengan santai dan tanpa
rasa marah sedikitpun.
Akhirnya kaki ang kecapekan menyangga tubuh
ini samapi di kota kelahiran saya, yaitu di Kota Blitar. Meskipun ini daerah
kelahiran saya tetapi saya tidak mampir
ke rumah ibu saya, karena memang perjalanan spiritual ini belum selesai, baru
separoh langkah. Di Blitar saya menziarahi makam sang Proklamator, Bung Karno.
Saya tiba di areal makam menjelang tengah
malam. Setelah minta izin kepada juru kunci akhirnya saya melakukan ritual di
dekat pusara Bung Karno. Memang kalau malam makam sering ditutup danharus minta
izin kalau ingin melakukan ritual di sana.
Setelah selesai melakukan ritual saya
ingin istirahat sebentar di mushola
dekat makam beliau. Beberapa saat setelah mata terpejam saya dibangunkan oleh
orang yang mengenakan kaos dalam putih, dimasukkan dalam celana panjang tampak
rapi, rambutnya disisir sehingga wjahnya tampak wibawa. Ia membangunkan tidur
saya dan berkata, “Bilang sama orang-orang kalau pingin pangkat suruh tabarukkan ke sini!” sesaat kemudian
orang itu pergi begitu saja tanpa basa-basi.
Akhirnya saya tidak tidur sampai subuh
menjelang. Dalam kebingungan atas sikap dan pernyataan orang itu saya berusaha
untuk memahami dan mencerna maksud yang dibicarakan orang tadi. 67
Setelah lama membisu akhirnya saya sedikit
mendapat titik terang tentang maksud orang dalam mimpi tadi. Mungkin yang
dimaksud tabarukan disini bukan sekedar melakukan ritual dan doa-doa saja
tetapi harus mempelajari ajaran-ajaran Bung Karno jika ingin menjadi orang
berpangkat.
Kalau dilihat sejarahnya memang benar si Bung
ini adalah orang berpangkat dan cerdik pula maka jika seseorang menginginkan
sebuah jabatan atau pengaruh tirulah beliau.
Usai salat subuh saya melanjutkan perjalanan
ke arah Tulungagung. Di kabupaten ini saya menuju daerah Jatimulyo di mana
terdapat makam seorang ulama yang sangat terkenal, beliau bernama Kyai Hasan.
Di makam beliau saya tidak ditemui orang aneh
tetapi saat ditengah-tengah ritual ada suara yang tertangkap oleh telinga
saya,“kembangno kembang”, (mengembangbiakkan
bunga).
Sepanjang ritual suara itu terus menerus
berdengung ditelinga. Usai melakukan ritual saya tundukkan kepala, mata
terpejam, pikiran melayang-layang mencari jawab atas makna dari kata-kata yang
masih terngiang-ngiang itu.68
Beberapa saat kemudian sayaberusaha untuk
menyimpulkan makna dari pesan itu dengan kemampuan yang amat sangat sedikit
ini. Mungkin pesan itu menyuruh untuk
mengajak para pemuda untuk bersama-sama menata hati dan menjaga jiwa agar
terselamatkan dari buaian dunia. Karena pemuda itu adalah bunga yang masih
perlu disiram, dirawat agar kelak ketika dewasa ia akan kuat untuk tetap mekar
dan menebarkan bau harum di manapun mereka berada.
Setelah penasaran yang mengganjal di hati
lumayan reda akhirnya saya melanjutkan perjalanan ke arah barat, sampai di
daerah winongsari, yang masih dalam wilayah kabupaten Tulungagung. Di daerah
ini saya menziarahi makam yang mbabat daerah ini yang terkenal dengan nama
syech Winongsari.
Di makam beliau saya tidak lama setelah
ditemui orang yang berpakaian serba hitam dengan udeng yang juga berwarna hitam
menyapa dengan lembut,”Kamu tidak usah lama-lama di sini, terima kasih,
pergilah ke Tambak (Kediri) berdoalah di makam Syech Abdul Qodir Al-Khairi dan
Syech Herman Ar-Rumani”.
Akhirnya setelah selesai melakukan ritual
tanpa berhenti untuk istirahat saya menlanjutkan perjalanan ke arah Tambak
Kediri.69
Saya menginjakkan kaki di desa Tambak saat
menjelang Isya’. Sesampainya di pintu gerbang masuk areal pemakaman saya
disambut oleh dua orang yang berperawakan Arab dengan berpakaian ala Arab.
Mereka mengajak saya untuk ke nisan yang
bertuliskan Syech Abdul Qodir Al-Khairi dan Syech Herman Ar-Rumani, seolah tahu
kalau makam kedua syech tersebut memang yang saya tuju.
Sya tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada
mereka. Mereka langsung menggandeng dan mengajak melakukan ritual dengan
tatacara dan bacaan seperti yang telah saya lakukan selama ini.
Setelah selesai melakukan ritual, mereka
berdua meminta saya yang memimpin doa. Saya heran, kenapa mereka yang
mengenakan pakaian sewibawa itu kok menyuruh saya yang seperti orang gila ini.
Awalnya saya menolak tetapi akhirnya mau juga sebab mereka terus memaksa.
Usai
berdoa salah seorang di antara mereka memegang bahu saya dan berkata, “ Setelah kamu selesai melakukan perjalanan ini, jangan
sekali-kali kamu menceritakan perjalananmu karena akan banyak yang mencibirmu
daripada mempercayaimu, kecuali untuk berbagi dan menceritakan bahwa untuk
mendapatkan sesuatu itu tidak semudah mengucapkannya. Perjalanan ini mirip
dengan perjalanan Rasul saw saat menerima wahyu, ketika beliau menceritakan apa
yang telah beliau alami tak seorangpun percaya kecuali sang istri. Begitu juga
kamu. Dan orang akan banyak yang menganggap kamu tukang sihir karena hikmah
Al-Qur’an yang saat ini telah menyatu dengan dirimu akan menunjukkan mukjizat-mukjizatnya.
Ingat baik-baik pesan ini !”
Ternyata di makam inilah saya mendapat
kesempatan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai sarana untuk menolong orang
lain yang lagi dirundung masalah.
Mudah-mudahan kesempatan ini tidak menjadikan
saya menegakkan kepala dan menepuk dada. Dan mudah-mudahan saya bisa sabar jika
dianggap tukang sihir ketika menggunakan ayat-ayat suci untuk menunjukkan bahwa
kesaktian firman Allah tersebut memang benar-benar terbukti jika Allah
menghendaki. Amin.
Masih di wilayah Kediri, setelah selesai dari
kedua syech tersebut saya menziarahi makam Syech Sulaiman Al-Wasil di Sentono
Gedong.
Sebelum memasuki kawasan makam, ada seorang
yang memakai sarung putih, koko putih dan kopyah hitam langsung menggandeng
tangan saya untuk menuju makam dan melakukan ritual bersama-sama.
Usai melakukan ritual orang itu tanpa
memperkenalkan diri langsung bercerita tentang sejarah datangnya Islam di Jawa
melalui lidah-lidah manis para wali. Kata beliau wali yang menyebarkan Islam di
tanah Jawa itu berlangsung sampai tiga periode. Periode pertama dipelopori oleh
Syech Jumadil Kubro yang mengabdi di Majapahit yang kemudian diteruskan oleh
anaknya Syech Ibrahin Asmarakandi pada periode kedua. Dan periode ketiga
dipelopori oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel.
Beberapa saat kemudian ketenangan mengguyur
hati dan pikiran saya. Sayapun melanjutkan perjalanan ke arah barat sampai di
Kabupaten Nganjuk, tepatnya di daerah wisata air terjun Sedudo. Ada sebuah
bukit yangan sangat terkenal di daerah ini dengan nama bukit Ngliman. Di bukit
ini terdapat makam tokoh setempat , Syech Ngliman. Tempat ini ramai dikunjungi
para pelancong yang sekaligus ingin ngalap berkah dengan berbagai macam tujuan
di makam tersebut.
Setelah melakukan ritual saya mngistirahatkan
sejenak seluruh organ-organ tubuh. Dalam kondisi tidur itulah saya bermimpi
bertemu dengan seorang yang berpenampilan jawaisme.
Beliau bercerita bahwa sejarah tempat wisata
air terjun sedudo yang dulunya sering digunakan para wali untuk bersemedi
dan bertafakkur kepada Allah. Dan saat
inipun masih banyak dikunjungi orang karena energi positif yang ada di sekitar
daerah ini bisa mengantar orang yang meditasi mengalami trance.
Usai menjalankan ritual di kota Nganjuk saya
lanjutkan perjalanan ke arah barat. Perjalanan yang cukup jauh dari Nganjuk
baru berhenti di Klaten jawa Tengah.
Karena di daerah ini terdapat salah satu
murid Kanjeng Sunan Kalijogo, yaitu Sunan Bayat. Nama tersebut dinisbatkan
dengan nama daerah di mana beliau menyebarkan ajaran Islam.
Makam yang terletak di atas bukit itutermasuk
salah satu makam yang sering diziarahi dan salah satu makam yang menjadi tujuan
ziarah wali sembilanyang sering dilakukan oleh banyak jamaah.
Saat kaki menginjak anak tangga pertama jalan
menuju ke atas bukit di mana jasad beliau disemayamkan saya bertemu dengan orang yang menggunakan
blangkon tanpa mondolan sebagai tutup kepala.
Ia menyertai langkah kaki saya dan mengajak
saya ngobrol ngalor-ngidul. Meskipun tanpa memper-kenalkan diri, dalam hati
saya merasa yakin kalau beliau itu adalah Sunan Bayat. Apalagi dalam
pembicaraan selama perjalanan menuju makam, beliau memberikan satu pelajaran
yang sangat berharga dan saya berusaha untuk menggunakannya sampai saat ini.
Beliau meminta saya untuk menghiasi ilmu
dengan cara tawadlu’, yaitu jangan sampai sombong dan mau menerima kritik
membangun dari siapapun dan di manapun seperti kata sahabat Ali,” Lihatlah apa yang ia bicarakan, jangan melihat siapa yang
berbicara”. Jadi meskipun dari orang gila, kalu nasehatnya baik, tidak
ada salahnya kita menerima dan menggunakannya.
Setelah selesai melakukan ritual dan
istirahat sebentar di makam beliau saya
melanjutkan perjalanan ke arah barat menemui orang misterius yang telah memberi
tugas belajar dengan ayat-ayat kauniah Allah.
Perjalanan saya berhenti di tepi panatai yang
penuh dengan energi ghaib. Mungkin hal ini disebabkan oleh adanya makam keramat
yang ada di seberang pantai, yang masih menyimpan keanehan-keanehan dan aura
mistis yang sangat tinggi, yaitu di daerah Panjalu, makamnya Prabu Praba
Kencana.
Memang benar, kejadian-kejadian sering
dialami oleh para peziarah juga saya alami dan sedikit menciutkan nyali dan
menimbulkan rasa takut, karena saat saya melakukan ritual terjadi gempa hebat,
tetapi anehnya orang-orang di sebelah saya tidak ada yang merasakannya.
Alhamdulillah, beberapa saat setelah saya
pasrahkan semuanya kepada Allah hati mulai tertata kembali dan ketenangan pun
menyelimuti hati saya. Tidak lama kemudian gempa hebat itu berhenti dan keadaan
seperti tidak terjadi apa-apa.
Selain itu sayajuga ditemui oleh seseorang
dengan berpakaian ala Sunda dan memberi nasehat,”jalan
yang kamu tempuh bukan jalan orang biasa, tanamkan dan pupuklah terus niat ini
sampai ajal menjemputmu!”
Lalu ia berkata lagi,”Dan belajarlah dengan
guru kelelawar. Jika kita bisa mengambil pelajaran dari makhluk Allah yang satu
ini Insya Allah kita akan bisa mencapai ketenangan batin. Tetapi saat ini
banyak yang berguru kepada makhluk yang satu ini tetapi tidak mencapai
ketenangan hakiki, karena mereka hanya meniru aktivitas luarnya saja. Siang
tidur lelap malam begadang mencari kesenangan sesaat. Jika kamu kepingin
mencapai dan mengalami ketenangan batin yang hakiki dan bersifat abadi aturlah
raga dan sukmamu!”
Ia berkata lagi,”Berilah kesempatan raga
istirahat di siang hari dan bangunlah jiwamu di malam hari untuk berusaha
mendekat kepada Sang Pencipta. Berdzikirlah di saat orang lain mengistirahatkan
raganya dan menyenangkan hawanafsunya!”
Dari makam beliau saya menyeberang ke gua
Pamejahan yang konon pernah bahkan sering digunakan para wali untuk berdiskusi
mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan saat itu.
Di sebelah Gua Pamejahan terdapat makam
seorang tokoh atau boleh dibilang wali karena keramatnya yaitu Syech Muhyidin.
Di bagian timur makam beliau saat saya duduk
tafakur bermunajat kepada Allah tiba-tiba datang orang dengan berpakaian serba
putih, berkalung serban putih dan mengaku Syech Muhyidin, dalam hati saya
penasaran jangan-jangan ini hanya jelmaan setan yang ingin mengganggu dan
menjerumuskan saya,
Tetapi rasa penasaran itu tidak begitu lama
menetap dalam hati. Setelah setelah saya meyakini kepada diri sendiri bahwa
yang paling penting adalah ajaran beliau atau peristiwa ini tidak bertentangan
dengan syariat Islam dan menjerumuskan saya kepada perbuatan musyrik.
Ternyata orang yang menemui saya itu hanya
menyuruh saya untuk segera pulang mempraktekkan apa yang telah saya dapat dan
pelajari selama melakukan perjalanan ini.
Dari Pamejahan saya melanjutkan perjalanan yang hampir selesai
ini. Ssebelum menemui kembali orang mesterius yang telah menugaskan untuk
melakukan perjalanan ini, saya ziarah dulu ke makam Syech Maulana Mansur di
Cikandueng dan Syech Muhammad sholeh Gunung Santri yang makamnya menghadap ke
arah timur –barat seperti makam Syech Arsyid Al-Banjari. Madura.
Di Cikandueng saya mendapat pesan ghaib yang
menyuruh berhati-hati karena kelak akan ada serangan gencar oleh agama yang
dulu sampai sekarang memaksakan kehendak, baik dengan cara kasar, maupun dengan
cara halus. Yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan duniawi orang-orang yang
hidupnya susah.
Setelah mendapat pesan ghaib di makam Syech
Maulana Mansur saya berziarah di Gunung
Santri. Makam inilah makam kedua yang ditunjukkan oleh Syeh Yusuf Tala’o
setelah makam Syech Arsyid Al-Banjari yang sama-sama menghadap arah
timur-barat. Syech Muhammad Sholeh Gunung Santri ini adalah salah seorang murid
dari Maulana Hasanudin Banten.
Di
makam ini saya mendapatkan pesan yang berupa suara tanpa rupa di saat saya
sedang melakukan ritual, pesannya itu masih terngiang di telinga saya sampai
saat ini, “Perjalananmu ini memang sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, kamu
tidak ada papa-apanya jika tidak dikehendaki oleh Allah. Karena itulah terus
jaga langkahmu agar tetap di jalan yang diridloi Allah sampai ajal datang
menjemputmu. Ingat dengan musuh nyatamu, yaitu setan, mereka tidak akan
mengganggu manusia jika manusia itu memiliki sifat dermawan, tidak gampang
marah, dan tidak mabuk duniawi.” Kemudian suara itu menyuruh saya mengamini
bacaan doa khatam Qur’an.
Makam beliaulah makam terakhir dalam
perjalanan spiritual yang saya tempuh selama kurang lebih dua bulan ini. Dan
saya harus menghadap kepada orang mesretius yang telah memberikan kepada saya
pelajaran yang nyata dan benar-benar saya alami, tidak sekedar konsep.
Setelah istirahat beberapa hari dan
mendiskusikan pelajaran-pelajaran yang telah saya peroleh dari perjalanan ini,
orang mesterius itu menyuruh saya segera pulang dan mendermakan anugerah Ilahi
yang telah menyatu dengan jiwa dan raga saya. Sesaat setelah beliau meminta
saya mendirikan pesantren di kampung kelahiran saya karena banyak pemuda-pemuda
di sana yang lalai mengelola jiwanya sehingga kehidupan mereka amboradul.
PENUTUP
(CATATAN EDITOR)
Perjalanan spiritual ini, sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Husein, Sang Pelaku, tepatnya berlangsung selama empat puluh
satu hari, sejak hari keberangkatannya pada tanggal 01 Desember 1992 hingga ia
kembali tanggal 10 Januari 1993.
Selama perjalanan hampir seluruh perjalanan
dilakukan dengan jalan kaki. Hanya saat-saat menyeberangi sungai besar dan
lautan luas saja menggunakan sarana lain, seperti sampan, rakit dan sekembali
dari Bali, penyeberangan menggunakan Kapal Feri.
Perjalanan ini dilakukan untuk mendapatkan
kebahagian sejati. Cara ini telah berhasil untuk Al-Husaein yang kini telah
menetap di Blitar, menjaga dan mngurus anak-anak muda yang “terlantar” jiwanya
di padepokan sederhana miliknya.berdasarkan yang beliau kisahkan, seluruh
tempat dan waktu yang dituturkan dalam kisah ini adalah faktual.
Kesungguhan dan ketulusan Al-Husein untuk
mengisahkan perjalanan ini patut kita hargai. Sungguh luar biasa menempuh jalan
yang mustahil di jaman yang sudah maju ini. Dan beliau telah berhasil
melampauinya dan menerima pengajaran spiritual yang hanya dapat dinikmati oleh
segelintir orang.
Ada banyak hikmah yang dapat diambil dari
kisah perjalanan AL-Husein ini. Selain hal-hal mistis yang tidak bisa dicerna
oleh nalar biasa, terdapat satu pesan utuh yang dapat dipahami, yaitu kekuatan
hati serta ketulusan mampu mengalahkan segalanya.
Hidup ini memang tidak mudah, tapi juga tidak
sulit untuk dijalani. Selama masih punya hati dan bersedia kerja keras,
segalanya menjadi lebih mudah.
Diambil dari buku “JEJAK MISTIK KYAI GAUL
AL-HUSEIN “ Ditulis oleh Mbah Agus Pranatan, Penerbit Hijrah 2005
Yang dijumpai atau diziarahi oleh pelaku
dalam cerita ini:
1.
Mbah Kyai Arwani Kudus
2.
Mbah Kyai Khobir Mangunsari
3.
Sayyidina Nabi Khidir as
4.
Habib Husen Jakarta
Utara
5.
Syarif Hidayatullah Cirebon
6.
Sunan Kalijogo Kadilangu
7.
Sunan Kudus Kudus
8.
Sunan Muria Gunung
Muria
9.
Syech Siti Jenar Jepara
10.
Sunan Bonang Tuban
11.
Syech Ibrahim Asmarakandi Palang
Tuban
12.
Fatimah binti Maimun Gresik
13.
Sunan Giri Gresik
14.
Maulana Malik Ibrahim Gresik
15.
Maulana Ishaq Gresik
16.
Sunan Ampel Ampeldenta-Surabaya
17.
Mbah Bolong Ampeldenta-Surabaya
18.
Mbah Sholeh Ampeldenta-Surabaya
19.
Kyai Kholil Bangkalan
20.
Abu Syamsudin Pamekasan
21.
Syech Yusuf Tala’o-Sumenep
22.
Syech Arsyid Al-Banjari
23.
Habib Ali Bafaqih *) Negaran-Bali
24.
Bung Karno Blitarim
25.
Kyai Hasan Jatimulyo-Tulungagung
26.
Syech Winongsari Tulungagung
27.
Syech Abdul-Qodir AlKhairi Tambak-Kediri
28.
Syech Herman Ar-Rumani Tambak-Kediri
29.
Syech Sulaiman Al-Wasil Sentono-Gedong-Kediri
30.
Syech Ngaliman Sedudo-Nganjuk
31.
Sunan Bayat Klaten
32.
Prabu Praba Kencono Panjalu
33.
Syech Muhyidin Gua
Pamejahan
34.
Syech Maulana Mansur Cikadueng
35.
Syech Moh.Sholeh Gunung
Santri
*) ket dari Ust. Abdul Hamid Denpasar