Wendie
Razif Soetikno, S.Si., MDM
KURIKULUM 2006 atau KURIKULUM 2013? itulah pengantar pertanyaan yang
saya baca dalam tulisnnya mengenail Kelirumologi Kurikulum Indonesia,
Beberapa kekeliruan yang mendasar : Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) secara harafiah berarti kurikulum tingkat sekolah
sehingga sejalan dengan arti harafiahnya, kurikulum setiap sekolah akan
berbeda sesuai dengan Visi dan Misi sekolah masing-masing.
Hal
ini sudah lama dipraktekkan di Perguruan Tinggi dan di sekolah-sekolah
internasional di Indonesia. Sama-sama belajar iptek dan terakreditasi A,
tapi kurikulum ITB akan berbeda dengan kurikulum ITS sehingga
masyarakat mempunyai alternatif pilihan untuk masa depan putra putrinya.
Sama-sama sekolah internasional yang terakreditasi secara
internasional, tetapi segera nampak bedanya antara Binus International
School di Simpruk, Jakarta (yang menggunakan Kurikulum IB), dan Gandhi
Memorial School di Kemayoran, Jakarta, (yang menggunakan Kurikulum
Cambridge), bukan saja karena kurikulum masing-masing sekolah itu
berbeda, tetapi yang lebih dapat ditonjolkan adalah sekolah-sekolah
tersebut dapat menentukan ciri khasnya sendiri berdasar model kurikulum
yang dipilihnya, sehingga Visi dan Misi dapat dirumuskan sesuai kondisi
sekolahnya. Dalam perbedaan itu, selalu ada sesuatu hal yang sama
sehingga dengan cepat kita dapat menyatakan bahwa suatu institusi
termasuk dalam institut teknologi atau bukan, atau suatu lembaga dapat
disebut SMA atau bukan. Sudah tentu tidak dilihat dari papan namanya,
tapi dari benang merah persamaan dasariahnya.
Kemampuan
dasar tentang apa yang minimal harus dikuasai seorang siswa atau
mahasiswa itu sama (dengan kata lain, Standar Pelayanan Minimalnya sama
(SPM-nya sama), tetapi masing-masing sekolah atau perguruan tinggi
mencari keunggulan lokalnya sendiri, yang akan menjadi ciri khasnya
(brand image). SPM dalam bidang engineering di ITB dan ITS itu sama,
tetapi masing-masing perguruan tinggi akan menonjolkan keunggulan
lokalnya masing- masing. SPM Binus International School dan Gandhi
Memorial School sama, yaitu penguasaan dasar-dasar pengetahuan
(foundation) atau pemahaman ilmu-ilmu dasar, sebagai bekal agar siswa
dapat mengikuti kuliah dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
akademik di perguruan tinggi, namun masing-masing sekolah akan unjuk
keunggulan lokalnya yang menjadi ciri khas dan jati diri sekolahnya.
Dengan kata lain, yang “dijual” oleh perguruan tinggi dan sekolah adalah
kurikulum yang diusung dengan keunggulan lokal pada model evaluasinya
(yang menentukan kualitas lulusannya), serta SDM yang mengampu kurikulum
itu. Hal inilah yang membentuk budaya ilmiah di perguruan tinggi atau
budaya pembelajar di sekolah. Budaya pembelajar sekolah Taman Siswa :
ing ngarso sung tulodo (emong), ing madya mbangun karsa (among), tut
wuri handayani (pamong), (di depan memberi teladan (tuntun), di tengah
menyemangati (bimbing), dan memberi dorongan dari belakang (dukung),
akan sangat berbeda dengan budaya pembelajar SMA Seminari St
sumber : http://www.slideshare.net/flatburger/kelirumologi-kurikulum-indonesia